Seorang teman menceritakan pengalamannya ketika baru pertama memasuki keluarga besar istrinya. Ia yang berasal dari Jawa agak canggung ketika berada di tengah-tengah keluarga sang istri yang berasal dari salah satu daerah di Sulawesi.
Pengalaman pertama yang membuat dirinya tersentak dan terheran-heran adalah ketika salah seorang dari keluarga istri mengatakan, ”Bunuh itu lampunya!” Hatinya sempat berdebar-debar karena di Jawa tempat asalnya, perintah membunuh itu untuk sesuatu yang bernyawa tapi di sini untuk sesuatu yang tak bernyawa pun digunakan kata ‘bunuh’.
Teman lain menceritakan, ia sempat merasa malu pada mertuanya, karena kebiasaannya ketika kuliah masih terbawa sampai ia berumah tangga. Kebiasaan tidak rapi, menaruh buku seenaknya, suka menunda pekerjaan rumah sampai bertumpuk-tumpuk. Ketika mertua datang, mertualah yang akhirnya membereskan semuanya. Ternyata keluarga suaminya adalah tipe keluarga yang disiplin dan teliti dalam kebersihan dan kerapian rumah. Sedang dirinya berasal dari keluarga yang toleran, memberikan kebebasan anak-anaknya untuk selalu bereksplorasi walau bikin rumah berantakan. Perbedaan keluarga yang bertolak belakang ini, membuatnya harus ekstra kerja keras untuk beradaptasi.
Kehidupan Baru
Memulai kehidupan baru bagi pasangan muda begitu sangat mendebarkan. Impian indah yang telah sekian lama menggoda hati kini menjadi nyata. Ia sekarang tidak sendiri lagi, ada belahan hati tercinta yang menyejukan pandangan nan menentramkan hati. Siap menemaninya dalam suka dan duka, mendampingi selama melabuhkan bahtera rumah tangga dalam rangka beribadah kepada-Nya.
Ada tanggungjawab yang kini harus diemban. Ada kewajiban yang mana kita dituntut untuk menunaikannya. Ada hak yang harus dengan bijak kita dapatkan dalam ikatan suami-istri, yang pengukuhannya melalui perjanjian dan tidak dengan mudah dipermainkan karena perjanjian itu sangatlah kuat.
Tidak semua perjanjian dalam al-Qur`an memakai kata mitsaqon ghalidha (perjanjian yang kuat), hanya ada beberapa kata dalam al- Qur`an yang menggunakan kata ini. Salah satunya dipakai untuk perjanjian dalam pernikahan. (An-Nisa’ [4]: 21).
Memang tidak mudah untuk memasuki perubahan itu. Bersatunya dua individu yang berbeda dalam ikatan pernikahan, tentunya membutuhkan komitmen yang kuat untuk selalu berusaha memahami perbedaan yang ada di antara keduanya.
Mungkin ada yang agak risih melihat pasangannya tidak merasa terganggu dengan rumah yang berantakan, sedangkan dirinya suka sesuatu yang bersih dan teratur rapi. Atau ada yang heran melihat pasangannya sangat suka bepergian sedangkan dirinya lebih suka di rumah. Atau ada yang berkecil hati melihat perbedaan karakter yang begitu mencolok dengan pasangannya. Perbedaan- perbedaan ini bila tidak terkomunikasikan dengan baik, berpeluang menimbulkan berbagai macam permasalahan.
Perbedaan adalah suatu keniscayaan yang akan selalu ditemui setiap pasangan dalam berumah tangga. Belahan jiwa yang berasal dari keluarga yang berkecukupan tentunya akan berbeda dengan yang berasal dari keluarga sederhana. Pasangan yang berkedudukan sebagai anak pertama tentu akan berbeda dengan anak tengah atau anak bungsu. Pendidikan keluarga, kecenderungan keluarga, status keluarga dalam masyarakat, sifat dasar yang menurun dari keluarga dan masih banyak hal yang bisa membentuk pribadi dan karakter yang ada pada pasangan kita. Adalah suatu hal yang harus difahami setiap pasangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) memberikan tuntunan bagi kita dalam memilih pasangan agar memperhatikan keluarga asal pasangan kita.
Ad-Daruquthni, Al-Anshari dan Ibnu Adi dari Abu Said Al-Khudri, Rasulullah SAW berkata, ”Jauhilah oleh kamu sekalian rumput hijau yang berada di tempat kotor. Mereka bertanya, ”Apa maksudnya, Ya Rasulullah?” Beliau pun menjawab, ”Yaitu wanita sangat cantik yang tumbuh berkembang di tempat yang tidak baik.”
Ibnu Adi dan Ibnu Syakir telah meriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha (RA), ”Pilihlah untuk air mani kamu sekalian. Karena sesungguhnya wanita-wanita itu melahirkan orang-orang yang menyerupai saudara laki-laki dan perempuan mereka.”
Belasan abad setelah Rasulullah SAW wafat baru diketemukan ilmu genetika dan psikologi perilaku yang membuktikan penurunan sel-sel pembawa sifat (kromosom) dari orangtua kepada anaknya. Kromosom seseorang bisa menyerupai ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, keponakan, dan cucu bahkan beberapa turunan berikutnya. Serta membuktikan pengaruh lingkungan dan pendidikan dalam membentuk perilaku seseorang. Dan yang menakjubkan, ilmu itu baru diketemukan belasan abad setelah Islam datang.
Menyikapi Perbedaan
Perbedaan adalah suatu hal yang wajar dalam hidup berumah tangga. Perlu diperhatikan agar kita tidak hanya terpaku pada banyaknya perbedaan yang ada, sehingga membuat kita tidak bisa melihat sesuatu kebaikan yang tersembunyi di balik perbedaan itu.
“…bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa’ [4]: 1).
Karunia cinta yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan rumah tangga adalah modal dasar untuk merajut perbedaan di antara pasangan. Tanamkan dalam diri sikap positif dalam memahami perbedaan yang ada. Dengan cinta yang terpatri di dada, tumbuhkan tekad dalam diri untuk memulai memberikan hal yang terbaik pada pasangan kita.
Sejatinya, cinta itu menumbuhkan sikap berkorban kepada siapa yang kita cintai. Begitu kita memutuskan untuk menikah saat itu juga, kita harus siap mengubah diri. Kita berusaha untuk memahami pasangan, bukan sebaliknya menuntut pasangan memahami kita. Tidaklah dikatakan cinta bila kita bersikap egois, selalu meminta lebih, minta di layani, dan menuntut lebih untuk dimengerti.
Sebagaimana Rasulullah SAW mampu memahami dan mengelola perbedaan yang ada pada istri-istrinya. Beliau menyediakan diri untuk menemani Aisyah melihat permainan lempar lembing, membiarkan Aisyah bermain boneka dengan teman- temannya karena beliau memahami bahwa istrinya masih muda.
Begitupun sebaliknya, para istri Rasulullah SAW memahami akan tugas kenabian dan kerasulan sehingga mereka menempatkan diri untuk tidak menuntut hal-hal yang bersifat materi, meskipun pernah juga hal tersebut mencuat kepermukaan tapi kemudian mereka tersadarkan kembali.
Berlomba-lombalah dalam menyediakan diri untuk berbuat yang terbaik bagi pasangan kita. Ada rasa bahagia bila pasangan kita terseyum karena perbuatan baik kita. Ada perasaan tidak rela bila pasangan kita terepotkan karena akhlak buruk kita.
Bila kesediaan diri untuk memberikan yang terbaik menjadi tekad setiap pasangan, maka perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap diri tidak akan menimbulkan masalah. Bahkan perbedaan itu bisa berubah menjadi rahmat untuk kesatuan keluarga yang harmonis. Wallahu a’lam bishawab. *Sri Lestari, ibu rumah tangga tinggal Yogyakarta. SUARA HIDAYATULLAH, JULI 2009
Di ambil dari http://majalah.hidayatullah.com/wp-content/uploads/2010/06/loveissht.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar