Senin, 09 Mei 2011

Pikiran dan Bahasa dalam Kajian Psikolinguistik

A. Pengertian Psikolinguistik
Psikologi berasal dari bahasa Inggris pscychology. Kata pscychology berasal  dari bahasa Greek (Yunani), yaitu dari akar kata psyche yang berarti jiwa, ruh, sukma dan logos yang berarti ilmu.  Jadi, secara etimologi psikologi berati ilmu jiwa.
Pengertian psikologi sebagai ilmu jiwa dipakai ketika psikologi masih berada atau merupakan bagian dari filsafat, bahkan dalam kepustakaan kita pada tahun 50-an ilmu jiwa lazim dipakai sebagai padanan psikologi. Kini dengan berbagai alasan tertentu (misalnya timbulnya konotasi bahwa psikologi langsung menyelidiki jiwa)  istilah ilmu jiwa tidak dipakai lagi.

Pergeseran atau perubahan pengertian yang tentunya berkonsekuensi pada objek psikologi sendiri tadi tentu saja berdasar pada perkembangan pemikiran para peminatnya. Bruno (Syah, 1995: 8) secara rinci mengemukakan pengertian psikologi dalam tiga bagian yang pada prinsipnya saling berhubungan. Pertama psikologi adalah studi mengenai ruh. Kedua psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental. Ketiga psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku organisme.
Pengertian  pertama  merupakan  definisi yang paling kuno dan klasik (bersejarah) yang berhubungan dengan filsafat Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Mereka menganggap bahwa kesadaran manusia berhubungan dengan ruhnya. Karena itu, studi mengenai kesadaran dan proses mental manusia pun merupakan bagian dari studi mengenai ruh.
Ketika psikologi  melepaskan  diri  dari filsafat sebagai induknya dan menjadi ilmu yang mandiri pada tahun 1879, yaitu saat Wiliam Wundt (1832-1920) mendirikan   laboratorium psikologinya, ruh dikeluarkan dari studi psikologi. para ahli, di antaranya William james (1842-1910) sehingga pendapat kedua menyatakan bahwa  psikologi sebagai ilmu pengetahuan mengenai kehidupan mental.
Pengertian ketiga dikemukakan  J.B. Watson (1878-1958) sebagai tokoh yang radikal yang tidak puas dengan definisi tadi lalu beliau mendefinisikan psikologi sebagai ilmu pengetahuan tentang tingkah laku (behavior) organisme. Selain itu, Watson sendiri menafikan (menganggap tidak ada) eksistensi ruh dan kehidupan mental. Eksistensi ruh dan kehidupan internal manusia menurut Watson dan kawan-kawannya tidak dapat  dibuktikan karena tidak ada, kecuali dalam hayalan belaka. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa Psikologi behaviorisme adalah aliran ilmu jiwa yang tidak berjiwa.
Untuk menengahi pendapat tadi muncullah pengertian yang dikemukakan oleh pakar yang lain, di antaranya Crow & Crow. Menurutnya psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, yakni interaksi manusia dengan dunia sekitarnya (manusia, hewan, iklim, kebudayaan, dsb.
Pengertian psikologi di atas sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni bahwa para psikolog pada umumnya menekankan penyelidikan terhadap perilaku manusia yang bersifat jasmaniah (aspek pasikomotor) dan yang bersifat rohaniah (kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor (ranah karsa) bersifat terbuka, seperti berbicara, duduk, berjalan, dsb., sedangkan tingkah laku kognitif dan afektif (ranah cipta dan ranah rasa) bersifat tertutup, seperti berpikir, berkeyakinan, berperasaan, dsb.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai prilaku manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak.
Linguistik  adalah  ilmu  yang mempelajari  bahasa secara ilmiah  (Kridalaksana, 1982: 99). Sejalan dengan  pendapat di atas Martinet mengemukakan  (1987: 19) mengemukakan bahwa linguistik adalah telaah ilmiah mengenai bahasa manusia.
Secara lebih rinci dalam Webster’s New Collegiate Dictionary (Nikelas,  1988: 10) dinyatakan linguistics is the study of human speech including the units, nature, structure, and modification of language ‘linguistik adalah studi tentang ujaran manusia termasuk unit-unitnya, hakikat bahasa, struktur, dan perubahan-perubahan  bahasa’.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Linguistik ialah ilmu tentang bahasa dengan karakteristiknya. Bahasa sendiri dipakai oleh manusia, baik dalam berbicara maupun menulis dan dipahami oleh manusia baik dalam menyimak ataupun membaca. Berdasarkan pengertian psikologi dan linguistik pada uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari perilaku berbahasa, baik perilaku yang tampak maupun perilaku yang tidak tampak.
Untuk lebih jelasnya, mengenai pengertian psikolinguistik berikut ini dikemukakan beberapa definisi psikolinguistik.
Aitchison (Dardjowidojo,2003: 7) berpendapat bahwa psikolinguistik adalah studi tentang bahasa dan minda. Sejalan dengan pendapat di atas. Field (2003: 2) mengemukakan psycholinguistics explores the relationship between the human mind and language ‘psikolinguistik membahas hubungan antara otak manusia dengan bahasa’. Minda atau otak beroperasi ketika terjadi pemakaian bahasa. Karena itu, Harley (Dardjowidjojo,2003: 7) berpendapat  bahwa psikolinguistik adalah studi tentang proses mental-mental dalam pemakaian bahasa.
Sebelum menggunakan bahasa, seorang pemakai bahasa terlebih dahulu memperoleh bahasa. Dalam kaitan ini  Levelt (Marat,1983: 1) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu studi mengenai penggunaan dan perolehan bahasa oleh manusia.
Kridalaksana  (1982: 140) pun berpendapat sama dengan menyatakan bahwa psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari hubungan  antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia serta kemampuan berbahasa dapat diperoleh.
Dalam proses berbahasa terjadi proses memahami dan menghasilkan ujaran,  berupa kalimat-kalimat. Karena itu, Emmon Bach (Tarigan, 1985: 3) mengemukakan bahwa psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai  bahasa membentuk/ membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas Slobin (Chaer,2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003: 6)  berpendapat bahwa  psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.  Dalam kaitan ini Garnham (Musfiroh, 2002: 1) mengemukakan Psycholinguistics is the study of a mental mechanisms that nake it possible for people to use language. It is a scientific discipline whose goal is a coherent theory of the way in which language is produce and understood ‘Psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran’.
B. Keterkaitan Antara Bahasa dan Pikiran
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.  Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran .Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi  pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.
Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik berupa   bahasa  lisan  maupun  bahasa  tulis,  sebagaimana  dikemukakan   oleh  Kempen (Marat, 1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang  ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Karena itu,  Slama (Pateda, 1990: 13) mengemukakan bahwa psycholinguistics is the study of relations between our needs for expression and communications and the means offered to us by a language learned in one’s childhood and later ‘psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan  antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.
Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika  berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi  bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang  disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean,  hubungan antara bahasa dan prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Berkaitan dengan hal ini Yudibrata, (1998:  9) menyatakan bahwa Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa).
Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.
Istilah cognitive berasal dari cognition yang padanannya knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang luas cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan.. (Neisser dalam Syah, 2004:22). Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan.
Menurut Chaplin (Syah, 2004:22) ranah ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.
Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini Syah (2004: 22) mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi yang disajikan kepadanya.
Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah ranah psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004: 52).
Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran.
Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.
1. Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.
2. Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini :
“Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting.
Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).
C. Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran
Pada umumnya suatu pemikiran yang kompleks dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Hal ini, dapat diartikan pula apabila dalam mengungkapkan sebuah kalimat, dibutuhkan pemikiran yang kompleks. Kompleksitas makna dalam kalimat yang kompleks muncul, karena dalam kalimat tersebut terdapat proposisi yang jumlahnya sangat banyak. Dalam penerapan proposisi-proposisi tersebut dapat bertindak sebagai anak kalimat yang menjadi pelengkap untuk kalimat induk, selain itu, kalimat itu dapat diperpanjang selama setiap akhir dari kalimat tersebut adalah nomina.
Kompleksitas makna dapat terwujud dalam bentuk-bentuk lain, salah satu penyebabnya adalah karena keadaan. Menurut kalian psikolinguistik, hal ini terbagi menjadi dua, yakni netral (unmarked) dan tak netral (marked). Seperti terlihat pada contoh berikut :
  1. UNS mempunyai 120.000 mahasiswa yang terbagi menjadi 9 fakultas.
  2. UNS mempunyai 70.000 mahasiswi.
Kata mahasiswa pada (a) bersifat netral, karena kata mahasiswa mempunyai arti luas, yakni semua pelajar baik laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada (b) mempunyai makna pelajar perempuan saja, pada makna ini disebut tak netral, karena telah mengerucut pada salah satu kelompok jenis kelamin saja.
Dalam sebuah kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, netral dan tak netral akan lebih mudah untuk dijelaskan, seperti pada kalimat berikut ini:
  1. How tall is your daughter?
  2. How short is your daughter?
Dalam kalimat tersebut jika ditanyakan pada seseorang maka lebih mudah untuk menjawab pertanyaan (a) daripada (b), karena kalimat (a) mempunyai sifat netral. Dalam pembelajaran psikolinguistik konsep netral (unmarked) umumnya merujuk pada makna positif. Dalam bahasa Inggris, kata-kata netral mempunyai sisi kebalikannya, misal happy menjadi unhappy. Sedangkan pada kata tak netral, misal sad, tidak dapat kita membuat sisi positifnya.
Di ambil dari http://susilo.adi.setyawan.student.fkip.uns.ac.id/2009/10/21/pikiran-dan-bahasa-dalam-kajian-psikolinguistik/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar